Seorang sahabat di dunia spiritual, malam maha Shivaratri lalu bercerita kalau ia pergi ke kaki gunung Semeru di Jawa Timur. Salah seorang kepala dinas sebuah kabupaten di Bali, bangga sekali bercerita pernah menghabiskan waktu bermalam-malam di pinggir sungai Gangga India. Inti semua cerita ini sederhana, manusia merasakan ada yang kurang di dalam dirinya, kemudian mencari. Dan semua yang mencari ini, merasa menemukan sebentar, kemudian hilang, mencari dan hilang lagi.
Tidak pernah terbelah
Itu sebabnya, Plato ribuan tahun lalu menemukan istilah soul mate (belahan jiwa). Sederhananya, ketidaktahuan (avidya) membuat manusia merasa jiwanya terbelah, kemudian seluruh hidupnya diisi dengan mencari belahan jiwanya. Anak-anak mimpi basah, remaja mencari pacar, orang dewasa menikah, bahkan yang rindu Tuhan dan pencerahan pun bercerita hal yang sama. Dengan tetap menaruh hormat mendalam pada pemikir besar Plato, runtuhnya lembaga keluarga di Barat khususnya - di Amerika Serikat angka perceraian tinggi sekali, sejumlah remaja yang gagal dipayungi keluarga bahkan melakukan penembakan menakutkan - bercerita tentang lemahnya teori jiwa yang terbelah. Sekaligus lemahnya teori bahwa belahan jiwa ada di luar. Itu di dunia keluarga, di dunia spiritual serupa. Di tempat di mana dulunya lahir nabi dan buku suci (India, Pakistan, Israel, Palestina) semua panas oleh senjata. Di India khususnya, banyak sahabat di sana bercerita, bisnis paling menguntungkan di India adalah bisnis agama.
Berbeda dengan pemikiran main stream, meditasi - khususnya di tingkat kesempurnaan - mulai dengan keyakinan semua sempurna apa adanya. Meminjam orang zen: “everything is the best“. Apa saja yang terjadi, itulah yang terbaik. Tapi awan ketidaktahuan (clouds of unknowing) menutupi cahaya kesempurnaan kemudian membuat sebagian orang menemukan ketidaksempurnaan di mana-mana.
Keadaannya mirip dengan seorang anak balita yang menoleh ke langit siang hari yang ditutupi awan, kemudian bertanya ke kakeknya: “grandpa apa di balik awan ada cahaya?”. Tentu saja kakeknya mengangguk, tatkala ditanya balik bagaimana membuktikannya, dengan bijaksana kakeknya menjawab: “percaya dulu kata kakek, nanti akan terlihat cahayanya”. Itu sebabnya, murid yang telah menemukan Guru dengan hubungan karma yang kuat (contohnya Milarepa menemukan Marpa), disarankan untuk memulainya dengan keyakinan mendalam kepada Guru. Pada waktunya murid bisa melihat cahayanya secara langsung, kemudian menyadari ternyata jiwa tidak pernah terbelah.
Ke-u-Tuhan
Di jalan meditasi mendalam, energi di balik laparnya manusia mencari karena belum mengalami langsung pandangan terang Vipashana. Tanpa pandangan terang, yang ada hanya kegelapan. Kegelapan inilah yang melahirkan the thirst of wholeness (dahaga akan keutuhan). Tanpa keutuhan, di dalam sini terus menerus ada yang kurang. Itu sebabnya, salah satu arti meditasi adalah kembali ke tengah. Pendulum pikiran perasaan boleh bergerak ke kanan (senang, bahagia, gembira) atau ke kiri (sedih, derita, duka cita), tetap saja oleh meditasi dibawa ke tengah. Penderitaan terjadi karena manusia membiarkan pendulum pikirannya bergerak ekstrim. Setiap gerakan pendulum pikiran perasaan yang ekstrim - misalnya terlalu gembira - maka diikuti oleh gerakan balik yang juga ekstrim (terlalu sedih). Makanya salah satu langkah meditasi berbunyi seperti ini: “apa saja bentuk pikiran perasaan, terima, rasakan tanpa positif negatif, tatkala waktunya berlalu lepaskan secara alamiah. Namun selalu ingat kembali ke tengah”.
Dalam sejumlah sesi guided meditation, banyak sahabat dibimbing dengan lirik lagu: “let it be, let it be, let it be, let it be, whisper words of wisdom let it be“. Biarkan semuanya mengalir sempurna apa adanya, kemudian bisa mendengarkan bisikan kesempurnaan kebijaksanaan. Dalam studi psikologi ini disebut well-being. Sebuah keadaan jiwa yang sangat berkecukupan. Dalam kerangka Sigmund Freud, alam sadar dan alam tidak sadar tidak terbelah dua, ia menjadi satu keutuhan. Dalam bahasa Carl G. Jung, apa-apa yang tidak disenangi tidak lagi ditendang sehingga terlempar menjadi bayangan. Sebagai hasilnya, cahaya dan bayangan menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam bahasa spiritualitas mendalam, keutuhan - perhatikan ejaannya berupa ke-u-Tuhan - inilah yang disebut Tuhan. Di titik ini, baru terlihat cahayanya, jiwa tidak pernah terbelah, ia senantiasa utuh dan penuh.
Di banyak tempat - khususnya di Bali - rahasia-rahasia keutuhan disembunyikan di balik persembahan, atau diceritakan secara amat halus oleh alam. Perhatikan salah satu sarana persembahan ala tetua Bali bernama pejatian. Mengacu pada pejatian yang ada di Bali Utara - khususnya di desa Tajun - di dalamnya berisi sepasang ketupat dampulan (simbol pria dan wanita). Sebuah simbol sederhana, kapan saja energi feminim dan maskulin berpelukan sempurna di batin yang sama, di sana seseorang berhenti mencari dan pulang ke rumah kesejatian. Alam di Kintamani mengukir keindahan. Gunung Batur (maskulin) berpelukan dengan danau Batur (feminim). Di titik pertemuan keduanya, tetua mendirikan pura Jati (rumah sejati). Terang sekali, mirip dengan jalan meditasi mendalam, kembali ke tengah, berpelukan dengan keutuhan, di sana tidak lagi terlihat dan terasa bahwa jiwa terbelah. Keadaan berkecukupan (well-being) dan keutuhan ini kemudian membuat seorang guru zen berpesan: “there is no enlightenment, there is only enlightened activities“. Tidak ada pencerahan yang perlu dikejar, yang ada hanya kesempurnaan kasih sayang (compassion).
Sesampai di sini, kehidupan menyerupai taman. Tidak ada pengelola taman yang sengaja menanam rumput liar. Kendati tidak ditanam, rumput liar (baca: kesedihan, kemalangan, kejahatan di masyarakat) tetap tumbuh. Sudah tahu rumput liar akan tumbuh lagi bulan depan, tetap bulan ini ia dicabut tanpa keluhan tanpa kemarahan. Sebagaimana kerap dipesankan: Every enemy functions as perfect mirror of our loveless state. Rumput liar seperti musuh, tukang caci, orang yang melukai bukan tidak ada gunanya, mereka adalah cermin terjujur kalau ada kualitas cinta kasih di dalam sini yang perlu diperbaiki. Inilah kesempurnaan keutuhan. Sekaligus ini juga tanda manusia yang tidak lagi mencari belahan jiwa.
Cirinya sederhana, dalam mengelola diri maupun orang lain jenis manusia ini senantiasa penuh perawatan. Jangankan manusia biasa, bahkan mahluk tercerahkan pun dalam batinnya masih ada rumput liar. Bila manusia biasa dicengkram oleh rumput liar kemarahan misalnya, mahluk tercerahkan lebih agung dari rumput liar mana pun. Akibatnya, bunga kebaikan dan kemulyaan bisa dirawat baik-baik dengan meditasi, buku suci, Guru suci. Dan rumput liar kekurangan diri, kejahatan orang lain dicabut tanpa keluhan tanpa kemarahan. Sebagaimana bunyi sebuah doa, bila bisa dirubah rubahlah, jika tidak bisa dirubah terima sajalah. Anehnya, sebagian orang justru berubah mendalam tatkala ia diterima. Dan bila manusia utuh ini memimpin, Gurunya berpesan: Kurangi larangan, banyak keteladanan. Inilah manusia utuh, rumahnya di pura Jati (rumah sejati).
Technorati Tags:
gede prama,
belahan jiwa,
dwijendra